RSS

Rabu, 08 Agustus 2012

PUISI SURGA


               Aku ini boneka jerami yang terlunta di ujung sepi
             Sosokku bersembunyi di ujung pelangi
             Tak ada yang melihatku
             Termasuk kau sayang
             Tunggu saja aku, sesaat setelah hujan


             “Kau yakin ini puisi darinya?” Tanya Andi sambil menggaruk-garuk kepalanya.
             “Belumkah kau mengerti Andi? Ini memang puisi darinya?” kekeuh ku. Aku yakin sekali itu adalah puisi Nabi.
             “Tapi…” katanya ragu.
             “Tapi apa?”
             “Nabi sudah meninggal Ra!”
             “Tidak! Nabi belum meninggal!”
             “Sudahlah, lupakan!” katanya sembari meninggalkan aku. Air mataku mengiringi kepergiannya. Mengapa Andi tidak percaya kalau ini puisi dari Nabi. Nabi kekasihku. Raganya memang mati, tapi jiwanya masih tetap hidup dalam pikiranku.
             “Tuhan, aku benci kau! Mengapa harus Nabi, Tuhan! Mengapa tidak aku saja?” teriakku sejadi-jadinya. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Ingatanku kembali pada satu bulan lalu, sebelum Nabi meninggal.
             Ketika itu aku sedang koma. Aku terbaring lemah dirumah sakit. Ya, aku kecelakaan bersama kekasihku Nabi saat menempuh perjalanan menuju rumahku yang berada di kota Bandung. Kami jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung hanya untuk meminta restu kedua orang tuaku. Nabi ingin melamarku! Saat Nabi mengatakan itu, aku seperti tidak merasakan jari-jariku lagi. Semua pikiranku bahkan hilang. Aku tak sanggup berkata-kata lagi. Hari itu terasa begitu indah. Dengan semangat membara aku dan Nabi bergoncengan naik motor menuju Bandung.
             Diperjalanan Nabiku sempat berjanji bahwa ia akan menuliskan sebuah puisi untukku kalau-kalau orang tuaku menerima lamarannya. Tak terasa air mataku menetes mendengar ucapannya. Aku terharu. Tapi… Tiba-tiba suara rem mobil mendecit. Terlambat! Mobil itu menabrak kami. Aku tak merasakan apa-apa lagi. Yang ada dipikiranku waktu itu antara hidup dan mati dan kekasihku Nabi.
             Lama… Lama aku terbaring dirumah sakit. Hingga akhirnya aku tersadar dan semua gelap. Aku raba kepalaku. Ternyata sebuah perban yang membuat gelap-gulita. Dimana aku? Itulah pertanyaan pertamaku saat aku sadar. Aku dengar ibuku menangis dan ayahku berteriak memanggil dokter. Aku tak begitu jelas mendengar percakapan mereka. Kepalaku pusing. Pikiranku sedang kalut. Kecelakaan itu?!
             Setelah terdiam cukup lama, dokter pun membuka perban yang mengelilingi mata ku perlahan.
             “Coba matanya dibuka pelan-pelan!” perintah dokter tersebut. Dan setelah aku membuka mata, kulihat ayah dan ibuku menangis. Tangis bahagia. Mereka memelukku bergantian setelah aku pastikan bahwa aku tahu itu mereka. Butiran air mataku pun tak terasa menetes.
             “Nabi orang yang baik, Ra!” kata ibuku sambil tersendat-sendat karena menangis. Tiba-tiba aku teringat sesosok lelaki, Nabi!
             “Apa maksudmu Tuhan? Kau ingin mengusirku dari taman ini. Mengapa pakai air? Kenapa tidak pakai hujan batu saja  sekalian. Bukankah apa pun yang kau inginkan pasti akan terwujud?  Hah! Kau pikir aku akan meninggalkan tempat ini? Aku tidak akan pergi dari sini sebelum kau keluarkan hujan batuMu! Sekalian saja kau usir nyawaku dari dunia ini. Agar tubuhku ini leluasa dimakan ulat-ulat kuburan!Agar cacing-cacingMu kenyang memakan nadiku. Agar kau puas melihat jiwaku terhempas di neraka jahanamMu. Sama seperti apa yang kau lakukan pada Nabiku!” teriakku seusai berhenti mengingat kejadian pahit itu.
             “Orang bodoh!” teriak seseorang dari belakang. Tak ku herankan suara itu. Aku tetap mementingkan percakapanku dengan Tuhan. Dinginnya air hujan semakin merayapi tubuhku. Rambutku yang ikal menjadi lurus seketika karena hujan. Tak ku pedulikan tubuhku yang kebasahan. Aku masih ingin berbicara dengan Tuhan sambil meremas selembar kertas yang berisi tentang puisi. Puisi Nabi. Aku ingin minta keadilan pada Tuhan!
             “Apa perlu aku bawakan kuburan Nabi kesini agar kau percaya bahwa Nabi sudah meninggal?!” suara itu lagi? Suara langkah kaki juga bertabrakan dengan hujan yang semakin deras. Semakin mendekat. Tanpa menunggu detik yang bergerak lambat, langsung aku berdiri dan…
             PRAKK!!!
             Sebuah tamparan melayang ke wajahnya.
             “Andi!” pekikku.
             “Ap.. Apa.. Maaf!” ku peluk sahabatku itu erat. Aku ingin berbagi sedikit kesedihanku bersama Andi. Andi juga balas memelukku.
             “Maaf, aku tak sengaja!” belaku.
             “Hanya karena seorang Nabi kau menampar seorang sahabat yang telah setia bersamamu dari kecil? Hanya karena seorang Nabi kau memaki Tuhan? Sadar Ra, Nabi sudah meninggal! Mau tidak mau, kau harus terima kenyataan itu. Dia baik, Aura! Dia relakan matanya demi kamu. Kekasih yang dicintainya. Apa kau tidak kasihan pada Nabi. Ia ingin kau merelakannya. Aku tahu, dia akan tetap terus memantaumu dari sana. Memperhatikan kamu, mencintai kamu, Aura Nabi! Dan Tuhan sudah memberikan kamu waktu untuk hidup lebih lama. Pergunakan baik-baik Ra. Aku tahu maksud Nabi itu baik. Bukan menyuruh kau melakukan dosa dengan memaki Tuhan seperti itu. Sebagian dari tubuhnya sekarang ada di kepalamu. Gunakan itu baik-baik. Kau bisa bertemunya lagi! Nanti, di surga.” Ceramahnya.
             “Ingat Ra, semua yang hidup pasti akan mati! Dan pasti ada yang bisa menggantikan Nabi suatu hari nanti! Aku mau…”
             “Nabi masih hidup!” teriakku memotong kata-katanya. Mengapa Andi masih belum mengerti perasaanku?
             “Apa?!” tanyanya heran sambil memegang kepalaku dan menatapku tajam. Aku tahu apa yang sedang dipirkannya saat ia menatap mataku saat ini. Ia pasti menyebutku sudah gila! YA, AKU MEMANG SUDAH GILA!!!
             “Percayalah Andi, ini memang puisi dari Nabi.” Kataku meyakinkannya sambil terisak-isak.
             “Apa buktinya Aura?” katanya melunak. Aku terdiam sejenak.
             “Ini kan tulisan tanganmu Ra! Jadi apa buktinya kalau itu puisi dari Nabi?” tambahnya.
             “Kau tahu kan kalau aku tidak bisa menulis puisi? Apakah kau ingat puisi terakhirku yang aku buat?” Tanyaku sambil menghentikan tangisku sejenak. Andi hanya mengangguk pelan.
             “Puisi ini memang aku yang tulis!” aku tak mampu berkata lagi.
             “Aku tidak bisa menulis puisi!” ungkapku.
             “Jadi…” tanyanya penasaran.
             “Nabi merasuki pikiranku. Dia masih hidup Andi. Nabi masih hidup!” air mataku kembali menetes. Lagi-lagi Andi terdiam.
             “Kau lihat, ini tanggal aku menulis puisi, 14 Juni. Itu hari saat Nabi berjanji akan membuatkan aku puisi. Aku tidak mungkin salah. Sedangkan aku baru sadar seminggu setelah operasi dan sebelum Nabi dimakamkan! Dan tiba-tiba saja hatiku tergerak untuk menulis puisi itu. Dan tanpa sadar aku menulis tanggal itu..” aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku lagi. Aku terduduk  lemas. Aku juga sangat menyesal telah memaki Tuhan. Maafkan aku Tuhan! Telah aku ikhlaskan Nabiku untuk-Mu. Hujan perlahan berhenti. Andi juga duduk dan membantu mengangkat tubuhku untuk kembali berdiri. Ia usap rambutku lalu memelukku. Air mataku seolah menggantikan air hujan yang kini benar-benar berhenti. Andi kini membisu. Ia hanya memelukku dan membelai lembut rambutku. Diam-diam kuperhatikan lagi kertas yang masih ada di genggamanku. Aku buka hati-hati agar tidak sobek karena basah terkena air hujan.

             Aku ini boneka jerami yang terlunta di ujung sepi
             Sosokku bersembunyi di ujung pelangi
             Tak ada yang melihatku
             Termasuk kau sayang
             Tunggu saja aku, sesaat setelah hujan


             Ku lipat kertas ku perlahan. Tanpa sadar aku tersenyum, melihat mejikuhibiniu itu terbebas dan menempel diangit. PELANGI?!






J

0 komentar:

Posting Komentar